Selasa, 23 April 2013

Tulisan Bhs. Indonesia 2# Bersikap Ilmiah


Tradisi pre-UNAS

Ujian nasional atau biasa disingkat UNAS adalah evaluasi belajar akhir yang dilakukan serempak secara nasional dan menyamakan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh  pusat penilaian pendidikan. Mulai diterapkan pada tahun 2003 dan cukup memberi tekanan kepada pelajar tingkat akhir SMP maupun SMA  karena takut tidak lulus dengan adanya standar kelulusan. Standar nilai kelulusan dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui kualitas lulusan ini mulai mendapat kritikan disebabkan belum adanya pemerataan serta kesempatan dalam menunjang terselenggaranya system pendidikan terutama pada daerah pelosok.
Sayangngya ketegangan menghadapi UNAS telah terwarnai dengan kegiatan non-ilmiah oleh para pelakunya. Misalnya saja seperti yang diberitakan oleh detik.com  puluhan siswa madrasah aliyah di salah satu daerah jawa timur melakukan ritual merajah pensil dan penghapus yang akan digunkan. Dijelaskan juga bahwa sebelum prosesi penulisan rajah tersebut, para siswa terlebih dahulu melakukan sholat dhuha berjamaah dan istigosah di musholl setempat. Selain itu ada beberapa ritual yang juga sering dilakukan adalah ziarah makam ke tempat makam-makan yang dianggap suci dan tak lupa diikuti dengan memohon maaf kepada orang tua atau guru.
Ironi tersebut dilakukan oleh siswa-siswa yang selama masa pendidikan digembleng untuk bersikap ilmiah sebagai perwujudan pendidikan. Bersikap ilmiah bukanlah hal yang terbatas pada aktivitas mengajar di kelas, tetapi juga mampu memilah dan memilih segala bentuk kegiatan objektif berdasarkan kebenaran-kebenaran ilmiah. Jika siswa sebagai penerus bangsa tidak melaksanakan sikap ilmiah dalam bertindak, sudah dipastikan generasi penurus akan terus terbelenggu oleh aktivitas klenik dan non-ilmiah lain. Maka tak heran jika bangsa kita masih tertinggal dalam kemajuan IPTEK.

Mengapa Mahasiswa Duduk di Belakang?



Masihkah kita mengingat “tradisi” ketika memasuki tahun ajaran baru di sekolah dasar dulu, dimana orang tua berebut tempat duduk paling depan untuk anak-anaknya memulai tahun ajaran. Para orang tua rela datang lebih pagi lalu member tanda pada kursi atau  meja dengan nama anak mereka supaya meja tersebut tidak di tempati oleh anak lain. Perjuangan tersebut semata-mata memudahkan anaknya untuk mampu lebih memahami pelajaran dan lebih berkonsentrai jika mereka duduk di kursi terdepan. Adapun alasan lain adalah anak-anak akn lebih terkendali karena langsung berhadapan dengan guru. Sayangnya kegiatan tersebut tidak berlaku  lagi setelah anak-anak tumbuh dan berkembang menjadi seorang mahasiswa. Di banyak universitas mahasiswa akan lebih duduk di bangku belakang saat tiba. Bangku terdepan akan terbiarkan kosong walaupun dosen menghimbau.
Terkonsentrasinya mahasiswa yang duduk di kursi belakang ternyata menimbulkan masalah tersendiri dalam proses belajar-mengajar. Masalah tersebut diantaranya kebisingan dan tidak tersampainya pesan dengan baik. Banyak alasan yang mendasari mengapa banyak mahasiswa memilih untuk duduk di kursi belakang, beberapa alasan tersebut yaitu :
  1. Mengantuk : Perasaan megantuk timbul terutama saat jam pertama pelajaran pagi karena merasa bergadang mengerjakan tugas atau karena alasan gaya mengajar dosen yang tidak menarik.
  2. Bergabung dengan teman : Mahasiswa selalu ingin berkelompok dengan teman-temanya yang di rasa dekat, begitu juga saat belajar. Perasaan kebersamaan akan lebih menyenangkan ketimbang sendiri.
  3. Takut : Biasanya dosen yang di rasa galak oleh mahasiswa lebih dihindari dengan memilih duduk di kursi belakang. Biasanya karena takut diberi pertanyaan yang sulit.
  4. Belum mengerjakan tugas : Duduk di kursi belakang member kesempatan menyelesaikan tugas tanpa menjadi pusat perhatian dosen saat mengajar.
  5. Tidak semangat : Dengan alasan sedang ada masalah pribadi atau tidak tertarik mata kuliah tertentu, menyebabkan mahasiwa lebih memilih duduk di kursi belakang.
  6. Membahas atau persiapan presentasi kelompok : Untuk menambah kepercayaan diri saat presentasi suatu materi, mahasiswa menyiapkan diri atau kelompok dengan berdiskusi tentang system atau materi yang akan di prestasikan di kursi belakang.
  7. Tidak ada tempat : walaupun kursi belakang lebih di pilih tetapi ada beberapa mahasiswa yang sengaja ingin duduk di depan untuk lebih mudah paham tentang materi sehingga member isyarat kepada mahasiswa lain bahwa kursi terdepan hanya untuk dirinya. Alasan tersebut menjadikan banyak mahasiswa kecewa dan duduk di kursi belakang.
  8. Ada juga yang menjadikan alasan ketidaksukaan dengan mahasiswa tertentu di kelas yang menjadikan mahasiswa lebih memilih duduk di belakang untuk menhindari teman yang tidak ia suka.
Tempat duduk di kelas dapat membatu siswa lebih memahami pelajaran dikarenakan segi strategisnya. Dengan duduk di depan siswa akan dengan jelas melihat catatan dosen di papan tulis juga mendengar lebih jelas ketika pengajar menerangkan materi. Duduk di depan juga member kesempatam untuk adanya interaksi dua arah lebih baik. Dengan banyaknya manfaat tentang kelebihan duduk di kursi depan, ternyata tidak membuat mahasiswa berbondong-bondong duduk di kursi terdepan. Mulai dari alasan personal hingga alasan keletihan banyak membuat kelas lebih terkonsentrasi pada sisi belakang.   



Lunturnya “Sikap Ilmiah” Para Mahasiswa di Era Modern



 “Belajarlah, atau gapailah sesuatu yang ingin kau gapai, hingga kau tak tahu lagi apa yang ingin engkau cari.” Kalimat itu mungkin bisa mewakili betapa indahnya jika kita bersungguh-sungguh dalam belajar dan mencari ilmu, hingga kita tak tahu lagi apa yang ingin kita cari.
Artinya, belajar tidak mengenal waktu dan masa, adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan diri serta kemasyarakatannya yang berlangsung seumur hidup. “Belajar sampai akhir hayat”, kata seorang seniman, karena belajar adalah suatu seni untuk bertahan hidup.
Barangkali ini suatu permasalahan individu ataukah suatu permasalahan yang kompleks?
Permasalahan itu muncul ketika seseorang bertanya kepada beberapa orang mahasiswa: “kenapa kamu kuliah?”, atau sama saja dengan: “apa tujuan kamu dalam hidup ini?”.
Lantas apa jawaban mahasiswa itu?
Aku kuliah untuk gagah-gagahan saja, supaya aku tak dipandang rendahan,” kata salah satu mahasiswa di IKIP PGRI Semarang yang tak ingin disebutkan namanya itu (Semarang, 17-11-2011).
Ada juga yang menjawab: “Nak ora kuliah terus arep nganggur ning omah?”, kalau diartikan jika dia tidak kuliah dia bingung harus mencari kerja apa karena dia tidak ingin dipandang sebagai seorang yang pengangguran.
Jawaban-jawaban seperti itu saya temukan ketika saya sedang mencari tahu tentang sikap ilmiah seorang mahasiswa, entah ketika dia sedang didalam lingkungan akademisi(perkuliahan) atau sedang diluar lingkungan akademisi, disalah satu Institut Keguruan IKIP PGRI Semarang (17-11-2011).
Dunia perguruan tinggi yang dikenal sebagai komunitas yang senantiasa menjunjung tinggi obyektifitas, kebenaran ilmiah dan keterbukaan mempunyai tanggung jawab dalam mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai jawaban dari permasalahan yang muncul di masyarakat dengan metode yang modern. Namun diera modern ini justru kebalikan dari hal itu, bahwa mahasiswa sekarang telah luntur daya sikap ilmiahnya ketika dia menyikapi persoalan hidup yang ada, dan menyikapi persoalan yang mendera bangsanya.
Tugas ini menjadi penting karena merupakan bagian dari pelaksanaan “Tri Dharma” perguruan tinggi. Dan menjadi lebih penting karena ada 3 fungsi ilmu pengetahuan yang sangat terkait dengan kelangsungan dan kemaslahatan hidup orang banyak, yaitu fungsi eksplanatif (menerangkan gejala atau problem), prediktif (meramalkan kejadian atau efek gejala) dan control (mengendalikan atau mengawal perubahan yang terjadi di masa datang).
Dan ada pula seorang mahasiswa di salah satu Institut Keguruan itu yang menjawab: “Dari pada tak ada kerjaan dirumah, mending kuliah saja,” (Semarang, 17-11-2011). Dan saya rasa tidak hanya beberapa mahasiswa itu saja yang menjawab dengan “sikap tidak ilmiah” ketika mereka diberi pertanyaan tentang apa tujuan mereka masuk kuliah dan menjadi seorang mahasiswa.
Pun tidak beda jauh ketika mereka berada diluar literatur perkuliahan(bergaul dalam masyarakat). Hal itu saya buktikan ketika saya sedang mengerjakan sebuah tugas penelitian ilmiah dari dosen fakultas saya, tentang ‘sikap ilmiah’ yang ditunjukan oleh mahasiswa IKIP PGRI Semarang ketika dalam literatur perkuliahan atau diluar literatur akademisi. Masih idealkah? Atau belum idealkah? Jawaban yang ditunjukkan oleh 100 mahasiswa yang saya pilih secara acak tiap fakultas dan tiap semester yang berbeda, 60% dari mahasiswa itu belum ideal/belum bisa bersikap ilmiah untuk mengemban tanggung jawab moral dan sosial sebagai seorang mahasiswa.
Kebanyakan dari mereka tidak bersemangat dan tidak antusias untuk belajar menjadi seorang mahasiswa yang berdedikasi tinggi, mereka lebih suka dibilang “anak kuliahan” dari pada seorang “intelektual” yang bekerja keras segenap jiwa dan raganya untuk bangsa dan negaranya. Seperti pertanyaan sebelumnya yang sudah saya paparkan diatas, sebenarnya semua itu adalah masalah individu-individu itu sendiri dan masyarakat (kompleksifitas) yang menaungi mereka.
Begitu indahnya bila kita memaknai hidup dengan belajar, ilmu tanpa agama akan timpang, dan agama tanpa ilmu akan buta, hendaknya kutipan kalimat filosofis itu bisa diambil faedah dan artinya. Bahwa seseorang yang mempunyai ilmu hendaknya bisa bersikap bijaksana dan mempunyai tujuan hidup untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk umat manusia, agama, dan Tuhan yang memberi ilmu itu sendiri.
Lantas apa solusinya? Atau bagaimana mengatasi itu semua?
Tidaklah bijak bila saya menjawab pertanyaan itu. Namun alangkah bijaknya bila kita bersama-sama berpikir sejenak tentang tanggung jawab moral dan sosial yang dipikul oleh kita sebagai mahasiswa yang berintelek. Semoga kita tidak menjadi seorang mahasiswa hanya untuk gagah-gagahan saja agar dipandang tidak rendahan. Tapi, hendaknya kita menjadi mahasiswa yang bisa berpikir bijaksana.

Hendianto, Peran Sabeth. 2011. "Lunturnya Sikap Ilmiah Para Mahasiswa di Era Modern". Kompasiana. 18-11-2011 
http://edukasi.kompasiana.com/2011/11/18/lunturnya-sikap-ilmiah-para-mahasiswa-di-era-modern-413579.html

Minggu, 14 April 2013

Tren Ibu-Ibu di Jalan Raya




 
Pesatnya teknologi menghadirkan kendaraan roda dua bertransisi automatic atau tren di sebut motor matik. Motor matik kini menjadi primadona di masyarakat di karenakan kemudahan dan kenyamanan dibandingkan dengan motor bertransisi manual. Bukan hanya kalangan pria, wanita pun menjadi pemakai motor matik baik untuk kepentingan transportasi pribadi untuk kerja atau kuliah bahkan sekedar berbelaja harian di lingkungan perumahan. Tak heran jika kita sekarang sering melihat ibu-ibu yang berkendaraan motor di jalan raya atau di jalan kecil seperti jalan di perumahan.
Pemakaian motor matik pada awalnya diperuntukan untuk perempuan yang aktif berpergian dari suatu tempat ke tempat lain. Hanya saja perempuan di jalan raya baik itu perempuan muda atau ibu-ibu rumah tangga seringkali mengabaikan keamanan berkendara sehingga banyak terjadi kecelakaan lalu lintas. Kelalaian tersebut diantaranya tidak memakai helm dengan alasan panas, rambut atau kerudung bisa berantakan, tidak memiliki SIM, membawa anak saat berkendara, membawa tas di bahu dll. Semua kelalaian tersebut tidak hanya mencelakaan si pengendara, tetapi akan bisa berdampak lebih buruk terhadap pengendara lain bahkan penumpang.
Penulis memerhatikan ibu-ibu cenderung lebih arogan saat berkendara di jalan raya. Contoh konkretnya adalah saat akan berbelok ke kiri/kanan tidak menyalakan lampu sein atau berkendara santai di jalur cepat. Afeknya ketika di tegur pengendara lain, ibu-ibu lebih emosional dan berbalik marah kepada si penegur. Banyak juga ibu-ibu yang membonceng anaknya di depan pas dengan space antara jok dan stang motor matik. Anak-anak tersebut rentan mengalami trauma kepala jika terjadi pengereman mendadak akibat tersebentur body stang motor yang keras.
www.indonesia.go.id dalam situsnya menyatakan bahwa 30.000 kecelakaan yang terjadi setiap tahunnya, lebih dari setengahnya melibatkan kendaraan bermotor. Untuk menekan angka tersebut, baiknya adanya kesadaran pada si pengendara untuk tertib dan mendisiplikan diri menerapkan safety riding terutama perempuan. Kesadaran lebih besar perannya dibanding dengan tindakan langsung oleh polentas. Faktor intern yang timbul tersebut tidak hanya menyelamatkan pengendara tetapi juga berjuta-juta nyawa pengendara lain atau pemakai jalan lain seperti pejalan kaki dll. Jalan raya bukanlah tempat yang tepat untuk meminta pengertian ladies first perempuan pun sangat mutlak memiliki kesadaran berkendara.