“Belajarlah, atau
gapailah sesuatu yang ingin kau gapai, hingga kau tak tahu lagi apa yang ingin
engkau cari.” Kalimat itu mungkin bisa mewakili betapa indahnya jika kita
bersungguh-sungguh dalam belajar dan mencari ilmu, hingga kita tak tahu lagi
apa yang ingin kita cari.
Artinya, belajar tidak mengenal waktu dan masa, adalah
usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan diri serta
kemasyarakatannya yang berlangsung seumur hidup. “Belajar sampai akhir hayat”,
kata seorang seniman, karena belajar adalah suatu seni untuk bertahan hidup.
Barangkali ini suatu permasalahan individu ataukah suatu
permasalahan yang kompleks?
Permasalahan itu muncul ketika seseorang bertanya kepada
beberapa orang mahasiswa: “kenapa kamu kuliah?”, atau sama saja dengan: “apa
tujuan kamu dalam hidup ini?”.
Lantas apa jawaban mahasiswa itu?
“Aku kuliah
untuk gagah-gagahan saja, supaya aku tak dipandang rendahan,” kata salah
satu mahasiswa di IKIP PGRI Semarang yang tak ingin disebutkan namanya itu
(Semarang, 17-11-2011).
Ada juga yang menjawab: “Nak ora kuliah terus arep nganggur ning omah?”, kalau
diartikan jika dia tidak kuliah dia bingung harus mencari kerja apa karena dia
tidak ingin dipandang sebagai seorang yang pengangguran.
Jawaban-jawaban seperti itu saya temukan ketika saya
sedang mencari tahu tentang sikap ilmiah seorang mahasiswa, entah ketika dia
sedang didalam lingkungan akademisi(perkuliahan) atau sedang diluar lingkungan
akademisi, disalah satu Institut Keguruan IKIP PGRI Semarang (17-11-2011).
Dunia perguruan tinggi yang dikenal sebagai komunitas
yang senantiasa menjunjung tinggi obyektifitas, kebenaran ilmiah dan
keterbukaan mempunyai tanggung jawab dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
sebagai jawaban dari permasalahan yang muncul di masyarakat dengan metode yang
modern. Namun diera modern ini justru kebalikan dari hal itu, bahwa mahasiswa
sekarang telah luntur daya sikap ilmiahnya ketika dia menyikapi persoalan hidup
yang ada, dan menyikapi persoalan yang mendera bangsanya.
Tugas ini menjadi penting karena merupakan bagian dari
pelaksanaan “Tri Dharma” perguruan
tinggi. Dan menjadi lebih penting karena ada 3 fungsi ilmu pengetahuan yang
sangat terkait dengan kelangsungan dan kemaslahatan hidup orang banyak, yaitu
fungsi eksplanatif (menerangkan gejala atau problem), prediktif (meramalkan
kejadian atau efek gejala) dan control (mengendalikan atau mengawal perubahan
yang terjadi di masa datang).
Dan ada pula seorang mahasiswa di salah satu Institut
Keguruan itu yang menjawab: “Dari pada tak
ada kerjaan dirumah, mending kuliah saja,” (Semarang,
17-11-2011). Dan saya rasa tidak hanya beberapa mahasiswa itu saja yang
menjawab dengan “sikap tidak ilmiah” ketika mereka diberi pertanyaan tentang
apa tujuan mereka masuk kuliah dan menjadi seorang mahasiswa.
Pun tidak beda jauh ketika mereka berada diluar literatur
perkuliahan(bergaul dalam masyarakat). Hal itu saya buktikan ketika saya sedang
mengerjakan sebuah tugas penelitian ilmiah dari dosen fakultas saya, tentang ‘sikap ilmiah’ yang
ditunjukan oleh mahasiswa IKIP PGRI Semarang ketika dalam literatur perkuliahan
atau diluar literatur akademisi. Masih idealkah? Atau belum idealkah? Jawaban
yang ditunjukkan oleh 100 mahasiswa yang saya pilih secara acak tiap fakultas
dan tiap semester yang berbeda, 60% dari mahasiswa itu belum ideal/belum bisa
bersikap ilmiah untuk mengemban tanggung jawab moral dan sosial sebagai seorang
mahasiswa.
Kebanyakan dari mereka tidak bersemangat dan tidak
antusias untuk belajar menjadi seorang mahasiswa yang berdedikasi tinggi,
mereka lebih suka dibilang “anak kuliahan” dari pada seorang “intelektual” yang
bekerja keras segenap jiwa dan raganya untuk bangsa dan negaranya. Seperti
pertanyaan sebelumnya yang sudah saya paparkan diatas, sebenarnya semua itu
adalah masalah individu-individu itu sendiri dan masyarakat (kompleksifitas)
yang menaungi mereka.
Begitu indahnya bila kita memaknai hidup dengan belajar, ilmu tanpa agama akan timpang, dan agama tanpa ilmu akan
buta, hendaknya
kutipan kalimat filosofis itu bisa diambil faedah dan artinya. Bahwa seseorang
yang mempunyai ilmu hendaknya bisa bersikap bijaksana dan mempunyai tujuan
hidup untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk umat manusia, agama, dan
Tuhan yang memberi ilmu itu sendiri.
Lantas apa solusinya? Atau bagaimana mengatasi itu semua?
Tidaklah bijak bila saya menjawab pertanyaan itu. Namun
alangkah bijaknya bila kita bersama-sama berpikir sejenak tentang tanggung
jawab moral dan sosial yang dipikul oleh kita sebagai mahasiswa yang
berintelek. Semoga kita tidak menjadi seorang mahasiswa hanya untuk
gagah-gagahan saja agar dipandang tidak rendahan. Tapi, hendaknya kita menjadi
mahasiswa yang bisa berpikir bijaksana.